Model Pembelajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendidikan

08 Desember 2017

MODEL PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI LEMBAGA PENDIDIKAN

Tinjauan atas Tujuan, Jenjang Pengajaran dan Metodologi Pengajaran 

 Dr. H. Ahmad Ubaedi Fathudin, M.A  

Pendahuluan

            Mengajar bahasa Arab adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan panggilan jiwa.  Ungkapan  ( وروح المدرس أهم من الطريقة والمادة ) menggambarkan keberhasilan guru dalam mencapai target pembelajaran sangat tergantung pada jiwa seorang guru itu sendiri dalam mencintai pekerjaannya.

Sedalam apapun penguasaan materi dan sebaik apapun metode yang dipakai dalam mengajar jika dilakukan oleh guru yang tidak memiliki panggilan jiwa mengajar, maka penguasaan materi dan metode tidak ada gunanya.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa asing (termasuk bahasa Arab) yang komprehensif maka metode pembelajaran harus dinamis, akan menjadi suatu musibah jika guru terlanjur konsisten dan “istikomah” dengan satu metode dalam mengajar.

Penentuan metode oleh seorang guru dalam mengajar bahasa Arab tidak muncul secara tiba-tiba. Hal ini harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, jenjang peserta didik, dan media pembelajaran yang tersedia. Kepiawan seorang guru dalam menentukan pilihan metode adalah faktor penentu tercapainya target pembelajaran bahasa Arab.

 

Tujuan Pengajaran Bahasa Arab  

Bahasan tentang tujuan pengajaran disini ditinjau dari bahasa Arab sebagai bahasa kedua, bukan sebagai bahasa ibu. Artinya, pengajaran bahasa Arab yang dimaksudkan adalah pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing. Bahasa Arab untuk orang asing, bukan untuk orang Arab sendiri. Meskipun demikian, boleh jadi ditemukan kesamaan tujuan antara tujuan pengajaran bahasa Arab bagi orang asing dan tujuan pengajaran tersebut bagi orang Arab sendiri.

          Pengajaran bahasa Arab sering dikaitkan sebatas dengan fungsi bahasa Arab sebagai bahasa agama saja, biasanya tujuan utama pengajarannya sebagai sarana pemahaman ajaran Islam. Tujuan pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi dunia Internasional sering diabaikan dan belum mendapat perhatian serius. Padahal bahasa Arab memiliki fungsi ganda, selain sebagai bahasa agama juga sebagai bahasa komunikasi Internasional. Hal ini terbukti dijadikannya bahasa Arab menjadi bahasa resmi PBB sejak 1973 di samping bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa Rusia, dan bahasa Cina.

          Kebijakan nasional mengenai pengajaran bahasa asing (termasuk bahasa Arab) memberikan arahan bahwa tujuan pengajaran bahasa asing adalah menumbuhkan keterampilan siswa berbahasa asing, sehingga dengan kemampuan itu ia dapat:

          (1). Berkomunikasi dengan bahasa asing tersebut;

          (2). Mengenal dan memahami bangsa dan kebudayaan asing tersebut; dan

          (3). Mempelajari ilmu dan kebudayaan asing melalui buku-buku yang ditulis dalam     bahasa asing itu dalam rangka studinya.[1]

          Tujuan pengajaran bahasa asing (termasuk bahasa Arab) adalah agar para pelajar mampu menggunakan bahasa asing tersebut secara aktif ataupun pasif. Kemampuan menggunakan bahasa secara aktif dan pasif tentunya kemampuan dalam empat aspek yakni menyimak (al-Istima’), mengucapkan (al-Kalam), membaca (al-Qiro’ah) dan menulis (al-Kitabah) dengan ketentuan bahwa menyimak dan membaca termasuk dalam kategori pasif dan mengucapkan dan menulis adalah cara aktif menggunakan bahasa.

          Untuk mencapai target standar kompetensi pembelajaran bahasa Arab yang ideal bukanlah hal yang mudah. Beberapa kendala dalam pembelajaran bahasa Arab dapat dikelompokkan kepada tiga pokok: (1) Faktor bahasa yang berkaitan dengan sistem bunyi / shaut, tata bahasa / nahwu dan makna / dalalah serta penulisan yang berbeda dengan bahasa ibu. (2) Faktor lingkungan / bi’ah lughowiyah yang kurang mendukung dalam penerapan bahasa yang dipelajari. (3) Faktor metode karena penggunaan metode yang monoton akan berdampak pada melemahnya minat dan motivasi.[2]

Ibrahim Muhamad ‘Atho merinci berbagai kendala dalam pembelajaran bahasa Arab sebagai berikut: (1) Karakteristik bahasa Arab meliputi kosa kata, tata bahasa, dan tulisan. (2), Mananejemen yang kurang baik. (3) Kualitas guru bahasa Arab masih dibawah standar. (4) Buku ajar yang tidak mengikuti perkembangan zaman. (5) Sistem ujian yang tidak memenuhi syarat.[3]

 

Pembagian Jenjang Dalam Pengajaran Bahasa Arab

          Belajar bahasa Arab seperti juga halnya belajar bahasa asing yang lain memerlukan waktu yang tidak pendek. Ia perlu tahapan-tahapan yang berkesinambungan yang disebut tingkat/tahap/jenjang/level pembelajaran dimana pada setiap jenjang seseorang akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa sampai pada tujuan yang sempurna.

          Pembagian jenjang dalam pembelajaran bahasa Arab dikenal dengan istilah “Al-mustawa”. Pembagian jenjang tingkatan ini tidaklah terikat dan tidak sebanding lurus dengan urutan jenjang pendidikan formal dimana siswa atau orang itu belajar.  

          Pembagian jenjang pembelajaran bahasa Arab yang umumnya dikenal adalah tiga jenjang/tingkatan yaitu; mustawa ibtida’i/tingkat pemula, mustawa mutawassit /tingkat menengah, dan mustawa mutaqoddim/tingkat lanjutan.

          Perbedaan pada masing-masing tingkat/level ini merujuk pada perbedaan kemampuan pada penguasaan bahasa. Hal itu bisa dibedakan sebagai berikut

  1. Tingkat Ibtida’i adalah masa pengembangan dasar-dasar kemahiran berbahasa.
  2. Tingkat Mutawassit adalah masa pemantapan dasar-dasar kemahiran berbahasa.
  3. Tingkat Mutaqoddim adalah masa dimana seseorang sudah memiliki kelancaran dalam menggunakan bahasa.

            Pada tingkat ibtida’i dan tingkat mutawwasith tujuan pembelajaran bahasa Arab diarahkan untuk tercapainya sasaran dapat aktif menggunakan bahasa secara lisan dan tulisan. Pencapaian tujuan tersebut dicapai dengan menggunakan all in one system atau integrated system atau nidhom al-wahdah yaitu sistem terpadu. Dalam sistem ini, bahasa dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh, saling berhubungan dan berkaitan bukan sebagai bagian-bagian yang terpisah satu sama lain. Oleh karena itu, hanya ada satu mata pelajaran, satu buku, satu evaluasi dan satu nilai hasil belajar. Kelebihan sistem terpadu ini adalah landasan teoritisnya yang kuat, baik teori psikologis, teori kebahasaan maupun teori kependidikan.

          Dipandang dari sudut psikologi, sistem terpadu ini sesuai dengan tabiat atau cara kerja otak dalam memandang sesuatu yaitu dari global ke bagian-bagian variasi bahan dan variasi teknik penyajiannya menghindarkan siswa dari kejenuhan. Fokus kepada satu topik atau satu situasi tapi dengan peninjauan berulang-ulang dari berbagai segi, memperkuat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.

          Dari sudut teori kebahasaan, sistem terpadu ini sejalan dengan tabiat bahasa sebagai sebuah sistem dan sesuai dengan realitas penggunaan bahasa yang memadukan berbagai unsur dan ketrampilan berbahasa secara utuh.

          Dari segi kependidikan (didaktis), sistem terpadu menjamin terwujudnya pertumbuhan kemampuan berbahasa secara seimbang karena semuanya ditangani dalam situasi dan kondisi yang sama, tidak dipengaruhi oleh keberagaman semangat dan kemampuan pengajar.

          Adapun tujuan pembelajaran bahasa Arab tingkat Mutaqoddim memfokuskan pada peningkatan empat kemahiran berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Oleh karena itu sistem terpadu (all in one system) tidak mungkin diterapkan pada tingkat lanjut. Sebab jika diterapkan pada tingkat lanjut (mutaqoddim) kurang dapat memenuhi keperluan pendalaman unsur bahasa atau keterampilan berbahasa tertentu yang memang menjadi kebutuhan nyata dari para pembelajar.

          Sistem yang mungkin bisa digunakan disini adalah sistem terpisah-pisah (separated system) atau nidhom al-furu’. Dalam sistem ini, pelajaran bahasa dibagi menjadi beberapa mata pelajaran. Setiap mata pelajaran memiliki silabus, jam pertemuan, buku, evaluasi dan nilai hasil belajar sendiri-sendiri.

          Pembagian tingkat/level dalam jenjang pembelajaran bahasa Arab tersebut diatas hanyalah gagasan (ijtihad) yang ditawarkan para pakar dan ahli pengajaran bahasa Arab. Hal itu memberi kita gambaran bahwa pembagian jenjang pengajaran dalam pembelajaran bahasa Arab haruslah tetap memperhatikan faktor-faktor utama sebagai dasar landasan pijakan pertimbangannya. Faktor-faktor itu sebagai berikut:

  1. Berapa jumlah ketersediaan waktu untuk pengajaran bahasa Arab
  2. Latar belakang bahasa Arab yang dimiliki calon siswa. Apakah sangat baik? Pas-pasan? Atau mungkin sangat minim?
  3. Faktor-faktor kepribadian siswa yang lain seperti umur, motivasi dan tujuan belajar bahasa Arab juga faktor kedekatan bahasa Arab sebagai bahasa kedua dengan bahasa pertama yang dimiliki siswa.

          Akhirnya fleksibilitas penggunaan pola pembagian pada jenjang pembelajaran bahasa Arab tetap berada di tangan pengajar. Seorang pengajar bahasa Arab punya otoritas untuk menggunakan pola pembagian tersebut, atau menguranginya sesuai dengan kondisi realitas yang dihadapi dalam mengajar.

  

Telaah Ulang Metode-Metode Pembelajaran Bahasa Arab

Muncul dan terpilihnya metode pembelajaran bahasa berkaitan erat dengan pandangan mengenai bahasa itu sendiri sebagai objek kajian. Juga dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran bahas sehingga melahirkan metode-metode seperti; Thoriqoh al-Qowa’id wa Tarjamah, at-Thoriqoh al-Mubasyiroh, Thoriqoh al-Qiro’ah, at-Thoriqoh al-Sam’iyah as-Syafahiyah, at-Thoriqoh al-Intiqoiyyah.

Adalah pandangan keliru jika pembelajaran bahasa tidak lebih dari sekedar mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik dan tidak memiliki tendensi kecuali belajar dan paham bahasa, singkatnya adalah belajar bahasa hanya untuk mengetahui bahasa bukan yang lain. Akhirnya peserta didik hanya tahu bahasa tapi tidak mampu menggunakan bahasa (الطالب يفهم اللغة ولكن لا يستطيع استخدام اللغة).

Pandangan ini melahirkan berbagai kekeliruan dalam menjalankan pembelajaran, seperti siswa harus menghafal kosa kata dan istilah-istilah sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan faktor kesesuaian, juga posisi peserta didik menjadi pasif (hanya menerima) dan kebalikannya guru menjadi aktif (memberi).[4] Akhirnya guru semakin hebat dan pintar (menguasai materi), sementara siswa semakin bosan dan jauh dari pemahaman.

Sedangkan paradigma lain melihat bahasa sebagai pengetahuan yang dapat dijadikan alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sehingga proses pembelajarannya berpijak kepada arah pendidikan substansif bukan formatif. Karena bahasa adalah fenomena sosial yang mengakar kuat akibat pembiasaan maka dalam proses pembelajaannya harus mengutamakan praktek dari pada teori, harus banyak latihan daripada menghafal kaidah (nahwu saraf). Kemahiran bahasa yang tercakup dalam al-Kalam, al-Istima’, al-Kitabah, dan al-Qira’ah adalah aspek-aspek yang harus diproses dalam latihan dan pembelajaran bahasa.[5]

Bahasa pada umumnya memiliki karakter yang sama. Pertama, bahasa lisan lebih utama daripada bahasa tulis. Kedua, adanya sistem (nizhom) yang berlaku. Ketiga, dapat berpindah dari lingkungan tempat tinggal kepada generasi berikutnya (anak-anak) melalui pembiasaan. Keempat, senantiasa berkembang. Kelima, hanya akan bertahan dan berkembang di tengah masyarakat  (sosial). Keenam, alat berfikir dan media transformasi kebudayaan. Ketujuh, humanis artinya bahasa lisan hanya terjadi pada dunia manusia.[6]

Sebenarnya karakter-karakter ini dapat dijadiakan pijakan dalam membangun konsep untuk sebuah proses pembelajaran bahasa. Karena bahasa pada hakekat aslinya adalah lisan bukan tulisan, maka hal pertama yang menjadi titik fokus pembelajaran bahasa adalah kalam/hiwar.

Karena pengetahuan bahasa dan keterampilannya berpindah secara alami, maka tidak ada pembelajaran bahasa yang dilakukan dalam waktu singkat (jika target pembelajaran adalah penguasaan secara komprehensif bukan parsial). Dalam hal ini, peserta didik (dewasa) yang baru mulai belajar bahasa kedua (level ‘mubtadi’) pada prinsipnya sama dengan level anak-anak yang sedang belajar bahasa ibu.

Bahasa merupakan kumpulan kesepakatan[7] dalam berkomunikasi di tengah suatu masyarakat. Oleh karena itu dalam bahasa terdapat sistem yang mengatur sehingga terjadilah simbol-simbol tertentu untuk makna-makna tertentu pula. Pada level tertentu atau pada saat yang memungkinkan, maka kajian tata bahasa  adalah sesuatu yang sangat urgen untuk diperoses dan dijalankan bagi peserta didik.

Penyusunan perencanaan pembelajaran yang bijak, kemampuan berkomunikasi secara efektif denga para siswa, mengembangkan strategi mengajar yang membelajarkan, kemampuan menguasai kelas, dan melakukan evaluasi secara benar, semuanya adalah hal-hal yang harus dilaksanakan dengan baik oleh seorang guru untuk terwujudnya target pembelajaran.

Dalam pembelajaran bahasa asing, guru harus paham betul seberapa besar perolehan bahasa peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan  active learning, sehingga komunikasi akan terbangun dari segala arah (tidak jumud), dengan demikian kemampuan berfikir siswa akan berkembang dan hal ini dapat diihat dari performence mereka dalam setiap tatap muka dan pertemuan.

Teknik umum yang dapat dipakai oleh guru untuk semua level peserta didik: pertama,  guru harus mempersiapkan sebaik mungkin MPR (muqaddimah, presentasi, reviuw) dalam setiap topok bahasan serta tujuan pelajaran harus jelas, cara dan pendekatan yang akan digunakan sudah terpikirkan dengan matang.  Kedua,  guru semaksimal mungkin berkomunikasi dengan bahasa yang diajarkan. Ketiga, pindah ke pelajaran beriutnya setelah yakin bahwa pelajaran sebelumnya sudah dikuasai. Keempat,  buku ajar hanya media untuk mempermuadah, guru harus banyak melakukan improvisasi. Kelima, guru harus banyak memberikan latihan, terutama dalam menggunakan kata tanya dalam bahasa Arab. Keenam, guru harus senantiasa mendorong, memberi semangat dan menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa.[8]

Memunculkan  dan memelihara minat peserta didik dalam belajar merupakan tugas pokok dan utama guru bahasa Arab. Hal ini dapat dilakukan dengan tetap menjaga suasana nyaman dan menyenagkan dalam setiap pertemuan. Jika minat berkurang dan suasana belajar juga tidak kondusif, maka guru yang kompeten dan fasilitas yang memadai tidak akan mendatangkan manfaat apapun.

 

Penutup

Akhirnya guru yang menguasai materi, metode mengajar, dan bisa memotivasi peserta didik sangat menentukan keberhasilan sebuah proses. Hal ini juga harus didukung dengan fasilitas yang baik sehingga laboratorium bahasa dan perpustakaan bahasa merupakan unsur yang harus ada dalam kegiatan pembelajaran.

 

 

[1] Emzir, Kebijakan Pemerintah Tentang Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah dan Sekolah Umum. Makalah pada Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam,  Bandung : IMLA, 23-25 Agustus 2007.

[2] D Hidayat dalam Syuja’i, Inovasi Pembelajaran Bahasa Arab ’Strategi dan Metode Pengembangan Kompetensi’, (Semarang: Wali Songo Press, 2008), hal 4.

[3] Ibrahim Muhammad Atho, al-Marja’ Fi Tadris al-Lughoh al-Arobiyah, (Kairo: Markaz al_kitab Linnasyri, 2001), hal 82.

[4] Jaudat Barokat, Thuruq Tadris al-Lughoh al-Arobiyah, )Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002), hal 10

[5] Jaudat Barokat, Thuruq Tadris al-Lughoh al-Arobiyah, hal 11

[6] Ahmad Fuad ‘Ulyan, al-Maharot al-Lughowiyah, Mahaiyatuha wa Thoroiqu Tadrisiha, (Riyad: Dar al-Muslim LinNasyri Wat Tauzi’,1992), hal 24

[7] Sesui dengan definisi bahasa oleh Ibnu Jini yaitu Lafaz-lafaz yang diungkap oleh suatu kaum mengenai maksud-maksud tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa bahasa adalah kesefahaman (kesepakatan) suatu masyarakat tertentu sehingga terjadilah komunikasi . Lihat Jini, al-khoshois, Jilid 1, hal 44, Maktabah Taufiqiyah, Kairo, Republik Arab Mesir.

[8] Azhar Arsyad, Sirru adris al-Lughoh Al-Arabiyah Fil’Ashril Mu’ashir (Khowathir Fikriyah), hal 2-3, Makalah disampaikan dalam kuliah umum di Gedung Pacasarjana UIN ‘Maulana Malik Ibrahim’ Malang, 15 Desember 2008.

We use cookies to improve our website. Cookies used for the essential operation of this site have already been set. For more information visit our Cookie policy. I accept cookies from this site. Agree